TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, kecil peluang bisa mengubah hasil pemilihan umum secara signifikan dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Sejak 2004, semua permohonan sengketa Pilpres ditolak." Refly mencuit melalui akun twitter-nya @ReflyHZ pada hari ini, Selasa, 21 Mei 2019. Refly mempersilakan cuitannya dikutip.
Mengapa? Menurut dia, karena memang tidak mudah membuktikan klaim kecurangan berdasarkan aspek kualitatif dan kuantitatif.
Baca juga: Jokowi Menang di 21 Provinsi, Ini Daftar Lengkap Rekapitulasi KPU
Membuktikan berdasarkan aspek kuantitatif, ujar Refly, maka penggugat harus bisa didalilkan kehilangan atau penggelembungan suara minimal separuh dari 16.957.123 suara. "Jangankan membuktikan kehilangan atau penggelembungan jutaan suara. Ribuan suara saja susah."
Kalau tidak mampu membuktikan aspek kuantitatif, pemohon biasanya beralih kepada aspek kualitatif. Praktik yang diterima selama ini, adanya dugaan kecurangan yang terstruktur, masif, dan sistematis (TSM). Namun lagi-lagi tidak mudah membuktikan kecurangan TSM di persidangan, bukan sekadar keyakinan awam. “Sejak 2004, pemohon selalu gagal membuktikan adanya kecurangan TSM," ujar Refly.
Baca juga: KPU Tetapkan Jokowi Menang, TKN: Terima Kasih Rakyat Indonesia
Mahkamah Konstitusi atau MK menyatakan siap menerima pengajuan sengketa Pemilu 2019 baik pilpres maupun pemilihan legislatif. Pendaftaran gugatan bisa dilakukan mulai hari ini, Selasa 21 Mei 2019 setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan hasil rekapitulasi nasional, Senin 20 Mei 2019 tengah malam.
MK mengumumkan bahwa penanganan perkara Pemilu di MK terdiri dari sebelas tahap, mulai dari pengajuan permohonan hingga penyerahan salinan putusan.